4 Strategi Memberdayakan Desa Lebih Produktif

  • Sep 30, 2020
  • karangmulyo

Desa berdaya dengan pariwisata mampu menjadi salah satu terobosan dan daya ungkit ekonomi di tengah pandemi dan pasca pandemi. Tentu saja tetap dengan mematuhi protokol kesehatan agar bukan malah menjadi "cluster" baru penyebaran virus. Dengan menjadikan desa sebagai pusat episentrum baru recovery ekonomi, bukan tidak mungkin, ekonomi merangkak naik dan bukan itu saja, membangkitkan gairah warga untuk kembali produktif sehingga menghasilkan income dan tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Desa memang memiliki tantangan tersendiri dalam mengembangkanya menjadi lebih produktif. Itu lebih banyak di sebabkan karena kecenderungan daerah di desa masih minim infrastruktur yang memadai. Mulai dari akses jalan, penerangan, jaringan teknologi dan informasi, dan sumber daya manusia (SDM) yang kebanyakan masih belum melek akan perkembangan zaman terkait inovasi teknologi dengan berbagai platform yang kini mewabah bagai jamur di musim hujan. Padahal, desa menyimpan banyak potensi agar lebih berdaya dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga hidup lebih baik dan sejahtera. Potensi itu salah satunya menjadikan desa produktif dengan akselerasi pengembangan desa wisata. Pengembangan desa wisata semakin menarik karena undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa memberikan mandat bagi perangkat desa mendukung warganya turut berpartisipasi membangun desa. Belum lagi terkait dana desa yang kini menjadi stimulus kepala desa dalam menentukan kebutuhan dan kepentingan mana yang lebih tepat bagi masyarakatnya. Lebih dari Rp 1 miliar anggaran di kucurkan pemerintah untuk kepentingan desa. Dahulu ini sangat tidak mungkin terjadi, karena dana perencanaan pembangunan otoritasnya berada pada pemerintahan propinsi. Geliat desa wisata semakin terlihat menggairahkan karena sudah ada beberapa desa yang mampu mewujudkan desanya lebih produktif bahkan ada beberapa desa meraih penghargaan nasional. Sebut saja  desa Pujon Kidul ( Jawa Timur  mendapatkan penghargaan pada tahun 2017 sebagai desa wisata agro terbaik nasional. Tidak main-main jumlah pengunjungnya mencapai 300.000 per tahun. Peningkatan pendapatan asli desa ( Pades ) pun meningkat dari puluhan juta menjadi Rp 1,3 miliar pada tahun 2018.  Pada tahun 2018 desa ekowisata di raih salah satunya desa  Tangkahan ( Sumatera Utara ) menjadi desa yang menyisihkan ratusan desa lainnya. Bercermin dari beberapa raihan prestasi desa yang mampu membuat warganya terlibat positif membangun desa wisata, hal tersebut cukup membuktikan, desa bukan tidak mungkin menjadi salah satu solusi menekan urbanisasi sekaligus menjaga lingkungan, karena terbukti peluang dan kesempatan terbuka lebar bagi warga sekaligus menanggulangi permasalahan kemiskinan karena membantu meningkatkan produktivitas serta alternatif kegiatan wirausaha. Tentu saja desa yang berdaya seperti diatas dapat di adaptasi desa lain. Desa harus  memiliki road map perencanaan yang terukur agar tidak melenceng dari harapan. Langkah pertama tentu saja dengan memetakan potensi desa yang belum terjamah atau belum di kelola dengan baik. Perangkat desa dapat dengan mudah menganalisa kebutuhan tersebut karena berada pada daerahnya sendiri. Kedua, tentu saja mengedukasi warga agar paham bagaimana mengelola wisata desa menjadi lebih menarik pengunjung. Tentu pemerintah perlu memberikan petunjuk teknis terkait ekosistem wisata. Misal, terkait branding, marketing.  Selain itu juga tidak lupa mengingatkan warga agar menjadi tuan rumah yang ramah. Perangkat daerah harus lihai juga melibatkan generasi muda lokal agar juga mampu menggaet para pengunjung yang seusia dan mengajak mempromosikannya di berbagai platform media sosial. Apalagi, pengunjung generasi milenial ( usia 15-34 tahun ) tahun ini mencapai 82 juta jiwa ( riset Markplus ). Karakteristik milenial juga terlihat lebih melek akan ragam media sosial dan sangat antusias menampilkan foto pribadinya ketika mengunjungi destinasi wisata tersebut serta tidak malu-malu untuk bercuap-cuap mempromosikannya. Belum lagi, blogger wisata yang kerap menuliskan pengalaman sendiri, jika lokasi wisata tersebut unik dan belum ramai di ketahui sesama komunitasnya. Ini akan sangat menimbulkan penasaran bagi yang lain untuk datang melancong, selain tentu saja menimbulkan efek word of mouth. Ketiga, tentu saja harus melibatkan media mainstream agar informasi desa wisata agar memberikan gambaran kepada masyarakat sekitar sehingga semakin menimbulkan rasa kepedulian dan kebanggaan akan daerah. Ujung-ujungnya, kunjungan wisata membludak, pergerakan ekonomi juga akan melonjak, khususnya usaha kecil menengah kreatif ( kriya, fashion, kuliner, dan lain lain ).

Terakhir, desa perlu juga bersinergi dengan perguruan tinggi vokasi khususnya yang memiliki Program Studi ( Prodi ) terkait pengelolaan konvensi dan acara.
Lulusan Prodi tersebut memiliki kompetensi dalam merencanakan sebuah event berskala nasional maupun internasional. Apalagi, pariwisata dengan minat khusus seperti sport tourism dan music tourism, belum tergarap optimal di daerah wisata. Wisata tersebut sangat di gandrungi generasi milenial. Peluang menggaet pelancong milenial saat ini terbuka luas, karena jumlah milenial dunia mencapai 2,4 miliar jiwa dan uniknya juga di Indonesia ada perubahan struktur kaum muda yang sering di sebut bonus demografi. Usia milenial produktif mencapai 100 juta jiwa !
Efek domino seperti inilah yang kita harapkan dapat terwujud agar denyut ekonomi desa bertumbuh pesat. Stigma persepsi masyarakatpun yang menganggap desa "kampungan" dan sulit mencari usaha dan pekerjaan dapat  perlahan-lahan mulai berubah karena ternyata dengan gotong royong membangun desa wisata dapat menjadikan setiap warga semakin sejahtera dan mengaktualisasikan potensi kreatifnya tanpa harus berpindah ke kota , hanya agar ingin dianggap lebih keren dan maju. Desa berdaya. Desa Produktif ! sumber : https://www.kompasiana.com/beeryjobs/5f56e989d541df607909e7a3/4-strategi-memberdayakan-desa-lebih-produktif?page=2